Senin, 03 November 2008

Tersandera di Tanah Sendiri

Tersandera di Tanah Sendiri


Sejak setahun terakhir, Israel praktis menutup semua pintu masuk ke Jalur Gaza, mulai dari terminal barang di Erez, Nahal Oz, Karni, Sufa, Kerem Shalom, dan Rafah. Akibatnya sungguh mengerikan. Sekitar 1,5 juta penduduk Jalur Gaza praktis menjadi sandera di tanah mereka sendiri. Tak hanya itu. Mereka dipaksa menjadi orang yang hanya bisa menggantungkan nasibnya kepada orang lain.
Berikut dampak blokade Israel itu:

*Makanan
Sekitar 75 persen penduduk Jalur Gaza sepenuhnya hidup dari bantuan kemanusiaan dan hanya makan sekali sehari. Survei yang dilakukan PBB Mei lalu menunjukkan beras, gula, susu bubuk, tepung terigu, minyak goreng, dan makanan bayi tidak ada lagi di pasaran. Survei itu juga menunjukkan sebagian besar rumah tangga di Jalur Gaza mulai menjual milik berharga mereka untuk membeli bahan makanan. Survei juga menunjukkan sebagian warga memilih mengurangi konsumsi sayur-mayur, buah segar, dan daging untuk mengurangi pengeluaran.

*Kesehatan

Survei WHO dan otoritas kesehatan Jalur Gaza, April 2008 menunjukkan stok 85 jenis obat-obatan yang sangat dibutuhkan dan 52 jenis alat medis habis. Organisasi Physician for Human Right (PHR) menyatakan sistem kesehatan telah ambruk diperparah dengan keterbatasan tenaga medis, peralatan, dan staf yang terlatih. PHR juga menyebutkan 200 orang meninggal di pos pemeriksaan ketika menunggu izin berobat meninggalkan Jalur Gaza dna belum terhitung lagi jumlah perempuan yang melahirkan di pos pemeriksaan dan bayi mereka meninggal di tempat. PHR menyebutkan jumlah pasien yang diizinkan melewati pos Erez untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut turun dari 89 persen pada Januari 2007 menjadi setengahnya pada Juni 2008.

*Bahan bakar dan aliran listrik
Israel mulai membatasi impor bahan bakar sejak Oktober 2007. Akibatnya pemadaman menjadi hal rutin bagi warga Jalur Gaza. Sebagian besar wilayah di Jalur Gaza paling lama menerima aliran listrik sekitar 19-20 jam. Keterbatasan bahan bakar juga berarti terganggunya sistem pengolahan limbah dan instalasi pengolahan air bersih. Mei lalu 15 persen warga Jalur Gaza hanya mendapatkan akses ke air bersih selama 4-6 jam per minggu, 25 persen per empat hari, dan sisanya setiap dua hari sekali. Kekurangan bahan bakar juga menyebabkan gangguang pada sumur-sumur irigasi yang menyebabkan sekitar 70 persen kawasan pertanian gagal panen. Seorang peternak ayam harus merelakan 165 ribu ayamnya mati karena tidak mempunyai cukup bahan bakar untuk mengoperasikan inkubator. Minyak zaitun akhirnya menjadi alternatif untuk bahan bakar kendaraan bermotor yang mengakibatkan polusi udara.

*Ekspor
Blokade itu juga menghancurkan sektor swasta. Praktis tidak ada ekspor bunga segar dan stroberi dari Jalur Gaza sejak Juni 2007. Sebelum blokade sekitar 750 truk berisi makanan, tesktil, furnitur, dan produk pertanian setiap bulannya meninggalkan Jalur Gaza. Nilai transaksi setiap harinya mencapai setengah juta dolar AS.Akibat blokade, PBB menyebutkan pada Desember 2007, dari 110 ribu pekerja sektor swasta, 75 ribunya terpaksa dirumahkan. Sementara 3.500 dari 3.900 pabrik gulung tikar. Laporan PBB juga menyebutkan 25 ribu ton kentang dan 10 ribu ton hasil panen lain tidak bisa dijual atau terpaksa dijual dalam kondisi tidak segar. PBB menggambarkan situasi itu sebagai situasi sangat mengerikan.

*Barang impor lainnya
Sejumlah barang juga tidak bisa masuk karena Israel mengategorikan sebagai barang yang bisa digunakan untuk kepentingan lain, seperti persenjataan. Misalnya, pipa ledeng dan pupuk untuk membuat roket dan semen untuk membuat terowongan bawah tanah. Komisi Tinggi PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan minimnya semen membuat tertundanya proyek pembangunan fasilitas sanitasi dan pemugaran gedung sekolah. Langkah itu juga berdampak pada matinya pabrik keramik (13), besi (30), dan batako (250). UNRWA juga menyatakan keterbatasan suplai kertas menyebabkan keterlambatan pembagian bantuan buku tulis bagi murid-murid Palestina.

Pos pemeriksa dan tembok pemisah di Tepi Barat
Di luar blokade Israel di Jalur Gaza itu, PBB juga mencatat dampak psikologis bagi anak-anak Palestina atas keberadaan pos pemeriksa militer dan tembok pemisah Israel di Tepi Barat bagi rakyat Palestina. Data menunjukkan terdapat sedikitnya 500 pos pemeriksa militer Israel di Tepi Barat. Anak-anak sekolah kadang harus melewati tiga hingga empat pos pemeriksa militer lengkap dengan todongan senjata petugas untuk sampai ke sekolah.Tembok pemisah sepanjang 670 kilometer tak hanya merongrong kemungkinan berdirinya negara Palestina tetapi juga mencaplok tanah-tanah dan ladang-ladang zaitun rakyat Palestina. Tembok itu mengakibatkan terisolasinya 30 wilayah permukiman dari pusat layanan kesehatan, 8 wilayah permukiman dari jaringan induk air bersih, dan 3 wilayah permukiman dari gardu induk jaringan listrik. berbagai sumber/lan


Sumber : http://www.republika.co.id/koran/0/11285.html